Selasa, 25 Juni 2019

Perlindungan Konsumen, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Penyelesaian Sengketa

A. Perlindungan Kosumen

1. Pengertian Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan sendiri,keluarga,orang lain ,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.pengertian tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai tindak lanjut Negara Indonesia atas rekomendasi Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985.Adapun resolusi perlindungan konsumen tersebut mencakup :

  1. Perbuatan-perbuatan yang tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan.
  2. Praktik perdagangan yang merugikan konsumen.
  3. Pertanggungjawaban produsen tidak jelas.
  4. Persaingan tidak sehat,sehingga pilihan konsumen dipersempit dan dengan harga yang tidak murah.
  5. Tidak tersedianya suku cadang dan pelayanan purna jual.
  6. Kontrak baku sepihak dan penghilangan hak-hak esensial dari konsumen.
  7. Persyaratan kredit yang tidak adil.

Defensi lain daripada Konsumen menurut Kotler, Konsumen adalah Individu dan kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal,sedangkan produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.

2. Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup (Shidarta, 2000:9).

Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK 8/1999) tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu (Sidobalok, 2014:37).

Perintis adanya hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang didirikan pada 11 Mei 1973. YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada tahun 1990. Rancangan hukum perlindungan konsumen juga didukung oleh Departemen Perdagangan atas desakan lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund) sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000 (Nasution, 1995:72).

3. Asas dan Tujuan

Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan kepastian dan keseimbangan hukum antara produsen dan konsumen sehingga terwujud suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga terjadi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam dalam Pasal 3 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa. 
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam menegakkan hukum perlindungan diperlukan pemberlakuan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penempatan hukum.

Asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
a. Asas Manfaat 
Segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya salah satu pihak saja yang memperoleh manfaat, sedangkan pihak lain mendapatkan kerugian.

b. Asas Keadilan 
Dalam hal ini, tidak selamanya sengketa konsumen di akibatkan oleh kesalahan pelaku usaha saja, tetapi bisa juga di akibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya. Konsumen dan produsen/pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan kewajiban secara seimbang.

c. Asas Keseimbangan 
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha dan konsumen. Menghendaki konsumen, produsen/pelaku usaha dan pmerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan 
Asas ini bertujuan untuk memberikan adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

e. Asas Kepastian Hukum 
Asas ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak, serta negara menjamin kepastian hukum.

4. Hak dan Kewajiban Konsumen 

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, maka kepentingan-kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk hak. Secara umum terdapat empat hak dasar konsumen yang diakui secara internasional yaitu: Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), Hak untuk memilih (the right to choose), Hak untuk didengar (the right to be heard) (Shidarta, 2000:16).

Hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. 
  2. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa. 
  4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan. 
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 
  2. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa. 
  3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 
  4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 

Menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 UUPK 8/1999, Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam perlindungan konsumen. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha.

Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu sebagai berikut:
  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
  2. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 
  3. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 
  4. Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

6. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan, larangan-larangan dalam penjualan secara obral/lelang, dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan.

a. Larangan dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
  • Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
  • Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  • Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika, atau keterangan barang atau jasa tersebut;
  • Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
  • Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
  • Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran, berat isi atau neto

b. Larangan dalam menawarkan / memproduksi 
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah :
  • Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
  • Barang tersebut dalam keadaan baik/baru.
  • Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
  • Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
  • Barang atau jasa tersebut tersedia.
  • Tidak mengandung cacat tersembunyi.
  • Kelengkapan dari barang tertentu.
  • Berasal dari daerah tertentu.
  • Secara langsung atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
  • Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap.
  • Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

c. Larangan dalam penjualan secara obral / lelang
  • Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen, antara lain :
  • Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
  • Tidak mengandung cacat tersembunyi.
  • Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
  • Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.

d. Larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, misalnya :
  • Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
  • Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa.
  • Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
  • Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
  • Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
  • Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

7. Klausa Baku dalam Perjanjian

Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
  1. Menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
  2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
  3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
  4. Pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
  5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
  6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.

8. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19

Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
  1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
  2. Cacat barabg timbul pada kemudian hari;
  3. Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
  4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
  5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

9. Sanksi

Sanksi yang diberikan oleh Undang–Undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.

B. Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

1. Pengertian

“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya". Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau  jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Undang-Undang Anti Monopoli No. 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu  pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

2. Asas dan Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha

Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

3. Kegiatan yang Dilarang dalam Anti Monopoli

Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.

4. Perjanjian yang Dilarang dalam Anti Monopoli dan Persaingan Usaha

Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No. 5/1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No. 5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.

Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspirary. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut -collusive behaviour- termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli. Perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
  1. Oligopoli;
    Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
  2. Penetapan harga;
    Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
    a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
    b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
    c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
    d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang danatau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
  3. Pembagian wilayah;
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
  4. Pemboikotan;
    Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
  5. Kartel;
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
  6. Trust;
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau  jasa.
  7. Oligopsoni;
    Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
  8. Integrasi vertika;
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
  9. Perjanjian tertutup;
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
  10. Perjanjian dengan pihak luar negeri.
    Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5. Hal-Hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli

Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
a. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari :
  • Oligopoli
  • Penetapan harga
  • Pembagian wilayah
  • Pemboikotan
  • Kartel
  • Trust
  • Oligopsoni
  • Integrasi vertikal
  • Perjanjian tertutup
  • Perjanjian dengan pihak luar negeri

b. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
  • Monopoli
  • Monopsoni
  • Penguasaan pasar
  • Persekongkolan

c. Posisi dominan, yang meliputi :
  • Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
  • Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
  • Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
  • Jabatan rangkap
  • Pemilikan saham
  • Merger, akuisisi, konsolidasi

6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan  praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara  bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian  penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing,  pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.

Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui  pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau  persaingan usaha tidak sehat.

Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.

Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
  • Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker 
  • Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
  • Efisiensi alokasi sumber daya alam
  • Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
  • Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
  • Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
  • Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak 
  • Menciptakan inovasi dalam perusahaan

Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999 tentang anti monopoli)

Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam men!alankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak  jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2

Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Menurut pasal 33 ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara."

Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai oleh negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.

Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan.
  • Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan  beralih karena hukum kepada Perseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
  • Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
  • Pengambil-alihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha, yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan &saha tersebut.


7. Sanksi

Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan,  penetapan pembatalan atas penggabungan, peleburan dan pengambil-alihan badan usaha,  penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.

Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.

Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :

Pencabutan izin usaha
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada  pihak lain.

C. Penyelesaian Sengketa

1. Pengertian Sengketa

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan : 

Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat : Sengketa adalah  pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum  bagi keduanya.

Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.

Dari ketiga pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah  prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

2. Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan).

Ada beberapa cara menyelesaikan sengketa. Tentunya istilah- istilah  berikut ini tidak asing didengar: 

a) Negosiasi
Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak : pihak kita dan  pihak lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.

Pola Perilaku dalam Negosiasi:
  • Moving against (pushing) : menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
  • Moving with (pulling) : memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
  • Moving away (with drawing) : menghindari konfrontasi, menarik kembali isi  pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
  • Not moving (letting be) : mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.

Ketrampilan Negosiasi :
  • Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
  • Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
  • Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak  pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
  • Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
  • Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.

b) Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau consensus, sehingga semua keputusan harus memperoleh persetujuan dari berbagai  pihak.

Dalam proses mediasi, diperlukan mediator untuk membantu menyelesaikan sengketa. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator memiliki ciri-ciri penting, yaitu netral, membantu para pihak, tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator bekerja selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan. Tugas- tugas dari mediator adalah sebagai berikut:
  • Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada  para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
  • Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
  • Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
  • Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

c) Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.

Azas- azas Arbitrase
  • Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
  • Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
  • Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. 
  • Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi  banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para  pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.

Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.

d) Pengadilan 
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. 4 Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.

3. Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan :

  • Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
  • Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

4. Tujuan memperkarakan suatu sengketa :

  • Untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
  • Dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive).

Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan :
  1. Lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic)
  2. Biaya tinggi (very expensive),
  3. Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
  4. Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.

E. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrasi, dan Ligitasi. Negosiasi atau perundingan

Adalah cara penyelesaian sengketa dimana para  pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

Sedangkan, Ligitasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga  peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari Ligitasi adalah ruang lingkup  pemeriksaannya luas karena mengghubungkan dengan lembaga-lembaga peradilan negara, biaya yang relatif lebih murah, cepat, dan tuntas. Jika ada kebaikan, maka ada kelemahan pula.

Kelemahan dari Ligitasi adalah kurangnya kepastian hukum karena adanya hirearki peradilan negara, sehingga butuh waktu yang lama untuk bisa mencapai keputusan hukum yang tetap. Dan, dalam menyelesaikan masalah sengketa, hakim yang digunakan haruslah hakim yang pintar dan berpengalaman, sehingga, sengketa dapat dengan tuntas diselesaikan dalam waktu yang cepat. 

Hampir sama seperti Ligitasi, Arbitrasi merupakan cara penyelesaian dimana ada pihak yang dimenangkan. Hanya saja, arbitrasi merupakan Ligitasi swasta dimana yang memeriksa kasus adalah seorang arbiter bukan hakim. Kelebihan dari Arbitrasi adalah lebih bisa dipercaya karena arbiter terpilih oleh pihak yang  bersengketa. Arbiter yang dipercayakan merupakan arbiter yang ahli dalam  bidangnya sehingga keputusan yang dihasilkan akan lebih cermat, seperti dalam UU  No.30 tahun 1999 tentang Arbitrasi atau Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa untuk menjadi Arbiter harus berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Selain itu keputusan hukum lebih terjamin karena arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.

Kelemahan dari Arbitrasi adalah biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah), putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Selain itu, ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).



Daftar Pustaka :