Selasa, 09 April 2019

Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian, dan Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang

Hukum Perikatan


A. PENGERTIAN HUKUM & PERIKATAN

  • Pengertian HukumHukum adalah ketetapan , peraturan , ketentuan yang telah disepakati oleh masyarakat dan para penegak hukum , yang harus dilaksanakan dengan sebaik – baiknya. Hukum mengandung sanksi-sanksi tertentu untuk diterapkan pada para pelanggar hukum.
  • Pengertian Perikatan KUH Perdata tidak memberikan secara rinci tentang Pengertian atauDefinisi Perikatan, sehigga Perumusan mengenai Pengertian atau DefinisiPerikatan pada umumnya diberikan oleh para sarjana. Dengan demikianPengertian atau definisi Perikatan adalah merupakan doktrin atau ajaran atauhanya ada dalam lapangan Ilmu Pengetahuan, bukan merupakan ketentuan yang mengikat yang meliputi baik dari segi kreditur maupun dari segi debitur !subyek dalam perikatan"

B. ISTILAH HUKUM PERIKATAN

       Dalam Buku III BW yang berjudul "van Verbintenissen", dimana istilah ini juga merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah "obligation". Istilah Verbintenis dalam BW (KUH Perdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, didalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :
         "Istilah Verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan "perutangan", perjanjian maupun dengan "perikatan". Karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni "verbintenis", diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUH Perdata digunakan istilah "perikatan" untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk  perkataan "perikatan", demikian juga R. Setiawan, memakai istilah "perikatan" untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah "hukum pengikatan" sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht". Sementara itu, R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai "hukum perjanjian" bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, memakai istilah "hukum perutangan" untuk
“verb intenissenrecht”. (R. Soetojo , 1979; 10). 
         Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; "perikatan, perutangan, dan perjanjian", akan tetapi dalam berbagai perkuliahan dilakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah "verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan adanya ketidaksamaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena didalam KUH Perdata sendiri tidak ditemui pengertian perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.

C. HUKUM PERIKATAN

      Hukum Perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di atur dan diakui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti undang-udanglah yang menegaskan dimana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
       Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya : janji untuk bertemudengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan hukum, dalam arti hal ini bukan merupakan perikatan atau hubungan hukum. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari tiga contoh kasus berikut :
  1. Amir menjual mobilnya kepada Yudi, maka dalam hal ini, menimbulkan perikatan antara kedua orang tersebut, yakni pihak Amir mempunyai kewajiban untuk menyerahkan mobil yang dijualnya karena hal itu juga merukan haknya Yudi, demikian juga sebaliknya, bahwa pihak Yudi juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau membayar harga pada Amir karena hal itu merupakan haknya Amir, demikian juga dari keadaan tersebut menimbulkan kewajiban bagi Yudi untuk membayar harga yang telah ditentukan.
  2. Toni menitipkan sepeda motornya pada Ali, maka dengan keadaan tersebut dapat dikatakan telah terjadinya perikatan antara kedua pihak tersebut, dimana Toni berhak atas sepeda motor yang dititipkan atau menerima kembali sepeda motor yang telah dititipkannya, demikian juga sebaliknya, Ali berkewajiban menyerahak sepeda motor yang telah dititipkan oleh Toni.
  3. Akhir secara tidak sengaja menabrak seorang pejalan kaki dengan kendaraannya, maka hal demikian juga telah melahirkan perikatan antara Akhir dengan Pejalan kaki tersebut, di mana akhir berkewajiban untuk mengobati dan sebaliknya si pejalan kaki mempunyai hak untuk menuntut agar Akhir mengobatinya.

      Melihat beberapa pengertian perikatan dan kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perikatan merupakan "suatu hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut". Dalam hal ini, dapat disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang). Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban yang harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak dan kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai suatu tindakan untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya. Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya : jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya : kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan,misalnya : perkarangan berdampingan, rumah bersusun. Jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum, dalam arti peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
        Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, "bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-masing pihak (kretidur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu" (Ridwan Syahrani, 1992; 203). Prestasi sebagaimana di maksudkan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur terhadap debitur, atau sesuat yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau dinilai dengan uang. Yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.
     Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual-beli, pihak  pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur. Dalam perjanjian hibah, pemberi hibah disebut debitur, sedangkan penerima hibah disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.
       Dari uraian yang telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan kasus yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada dasarnya merupakan "kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya, baik dalam lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang".

D. DASAR HUKUM PERIKATAN

        Sumber-sumber Hukum Perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang. Dasar Hukum Perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.

  1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian),
  2. Perikatan yang timbul dari undang-undang,
  3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum dan perwakilan sukarela.

          Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

  1. Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang–undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
  2. Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang lain atau lebih.
  3. Undang-Undang (Pasal 1352 KUH Perdata) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau timbul dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang.


E. ASAS – ASAS HUKUM PERIKATAN

          Di dalam hukum perikatan, dikenal dengan tiga asas penting yaitu :
1. Asas Konsensualisme
          Perkataan konsekualisme berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Sedangkan asas konsensualisme sebagaimana yang telah disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
  • Suatu hal tertentu,
  • Suatu sebab yang halal".
          Dalam angka satu pasal tersebut, "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dua belah pihak.

2. Asas Pacta Sunt Servanda
          Ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : "Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang". Dalam perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda diberi arti Pactum yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan Nudus Pactum sudah cukup dengan sepakat saja.

3. Asas Kebebasan Berkontrak 
      Dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka". Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk :
  • Membuat atau tidak membuat perjanjian.
  • Mengadakan perjanjian dengan siapapun
  • Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
  • Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
       Disamping ketiga asas itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17-19 November 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu :
  • Asas Kepercayaan,
  • Asas Persamaan Hukum,
  • Asas Keseimbangan,
  • Asas Kepastian Hukum,
  • Asas Moral,
  • Asas Kepatuhan,
  • Asas Kebiasaan, dan
  • Asas Perlindungan

F. PENGATURAN HUKUM PERIKATAN

          Hukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat. Bagian umum meliputi bab : bab I, bab II, bab III (hanya pasal 1352 dan 1353), dan bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal 1352 dan pasal 1353), dan bab V s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab yang bersangkutan. Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan "sistem terbuka", artinya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang, tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
          Sesuai dengan pengunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu ialah perjanjian dan undang- undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
          Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban debitur dan kreditur ditetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi ketentuan undang-undang. Undang-undang mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran undang-undang.
        Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-undang diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh undang-undang dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang. Perikatanyang timbul karena perbutan orang dalam pasal 1353 KUH Perdata diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum (rechtmatig) dan perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

G. MACAM – MACAM HUKUM PERIKATAN

1. Perikatan Bersyarat (voorwaardelijk)
          Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyarat ini dapat dilihat dalam bagian ke lima tentang perikatan-perikatan bersyarat, pasal 1253 yang berbunyi: "Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut".

2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu (tijdsbepaling)
       Suatu waktu ketetapan tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat "ketetapan waktu" adalah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada "waktu yang ditetapkan". Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan.

3. Perikatan Manasuka (alternatief)
           Objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan manasuka karena debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak boleh memaksa debitur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lain. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas pada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata).

4. Perikatan Tanggung-Menanggung (hoofdelijk)
       Adalah perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan pada satu pihak yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Perikatan ini diatur dalam pasal 1278 sampai pasal 1296 KUH Perdata.

5. Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
            Bergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka apabila salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh orang lain.

6. Perikatan dengan Penetapan Hukuman
         Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudahnya melupakan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

H. HAPUSNYA PERIKATAN

       Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut adalah :
  1. Pembayaran,
  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
  3. Pembaharuan utang,
  4. Perjumpaan utang atau kompensasi,
  5. Percampuran utang,
  6. Pembebasan utang,
  7. Musnahnya barang yang terutang;.
  8. Batal atau pembatalan0.
  9. Berlakunya suatu syarat batal, dan/3.
  10. Lewatnya waktu.
       Sepuluh cara tersebut di atas belumlah lengkap, karena masih ada cara-cara yang tidak disebutkan berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dari pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh debitur sendiri dan tidak boleh oleh orang lain.

Hukum Perjanjian

A. Pengertian Perjanjian

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian, sebagai berikut : "perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya".

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut : "Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Menurut Wirjono Projodikoro, perjanjian adalah : "Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksaan janji itu.

Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa : "Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.

Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai definisi dari perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan definisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku III KUH Perdata tentang Perikatan.

B. Standar Kontrak


  • Adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
  • Perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
  • Is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
  • Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.

          Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.

  1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
  2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan  berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

          Jenis-jenis kontrak standar :

  • Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:


  1. Kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur,
  2. Kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak
  3. Kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga. 


  • Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:


  1. Kontrak standar menyatu,
  2. kontrak standar terpisah.



  • Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:


  1. Kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandatangani,
  2. Kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan.

C. Macam-Macam Perjanjian


  • Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.

          Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa,  pemborongan bangunan, tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan itu.
          Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
          Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan  perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan  perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.

  • Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.

          Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat  potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).

  • Perjanjian bernama dan tidak bernama

          Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.

  • Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator

          Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai  pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan  perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pentinganya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

  • Perjanjian konsensual dan perjanjian real

          Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak,  perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt). Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi  persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.

D. Syarat Sahnya Perjanjian

          Bagaimana syarat sah suatu perjanjian? Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
  • Terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
  • Kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan  perjanjian tersebut;
  • Terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
  • Hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang  benar. Artinya, perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
          Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : 
  • Orang-orang yang belum dewasa
  • Mereka yang ditaruh didalam pengampunan
  • Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. 
            Dari sudaut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat”
oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
          Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah  pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
      Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata).
          Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam pengertian “keperluan rumah tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.
           Dan terdapat syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan  para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
         Dalam hal syarat subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang dibuatnya itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi.
       Dengan demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.

E. Pembatalan Perjanjian

          Pembatalan suatu perjanjian dapat dilakukan dalam hal salah satu pihak lalai dalam memenuhi kewajiban melaksanakan prestasinya sebagaimana yang ditentukan Pasal 1266 dan 1277 KUH Perdata. Selain itu, pembatalan perjanjian juga dapat dilakukan jika perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat perjanjian.
          Pembatalan perjanjian karena akibat adanya cacat kehendak yang berupa paksaan, kekhilafan atau penipuan berakibat lahirnya hak untuk menuntut pemulihan keadaan seperti keadaan semua, yakni keadaan sebelum terjadinya perjanjian. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1452 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Pernyataan batal berdasarkan paksaan, kekhilafan atau penipuan, juga berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat”.
          Pihak yang tidak cakap atau cacat kehendaknya memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian yang berupa biaya, rugi, dan bunga jika ada alasan untuk itu. Hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1453 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 1446 dan 1449, orang terhadap siapa tuntutan untuk pernyataan batal itu dikabulkan, selain itu diwajibkan pula mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu”.

Pembatalan - Pembatalan Perjanjian
a.  Syarat pembatalan
          Pembatalan dalam pembuatan suatu perjanjian dapat diminta oleh salah satu pihak yang dirugikan. Pada dasarnya, suatu perjanjian dapat diminta pembatalan apabila :
  1. Perjanjian itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum seperti : belum dewasa, ditaruh dibawah pengampunan dan wanita yang bersuami (pasal 1330 WB)
  2. Perjanjian itu bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan.
  3. Perjanjian itu dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (pasal 1321 WB)
          Dalam pasal 1266 WB dapat disimpulkan, bahwa ada tiga (3) hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian, yaitu :
  • Perjanjian harus bersifat timbal balik
  • Pembatalan harus dilakukan di muka hakim
  • Harus ada wanprestasi
          Menurut Prof. subekti, perjanjian dapat diminta pembatalannya kepada hakim dengan dua cara, yaitu :
  1. Dengan cara aktif : menuntuk pembatalan perjanjian di depan hakim.
  2. Dengan cara pembelaan : menunggu sampai di gugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian, dan baru mengajukan alasan mengenai kekurangan dalam perjanjian itu.
          Dengan demikian, yang membatalkan perjanjian itu adalah melalui putusan hakim, menurut pasal 1454 WB, permintaan pembatalan perjanjian dibatasi sampai batas waktu tertentu (5 tahun)

b. Actio Pauliana 
          Actio Pauliana adalah suatu upaya hukum untuk menuntut pembatalan perbuatan-perbuatan hukum debitor yang merugikan kreditornya, misalnya hibah yang sengaja dilakukan debitor sebelum dirinya dinyatakan pailit yang mengurangi/membuat mustahil pemenuhan pembayaran utang-utangnya.
          Menurut pasal 1341 WB, seorang kreditur diberikan hak untuk mengajukan pembatalan terhadap segala perbuatan debitur yang merugikan kreditur. Hak ini disebut dengan hak Actio Paulina. Dengan demikian menurut pasal 1341 ayat (1) WB “Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan, bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi obyek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak. (KUHPerd. 192, 920, 977, 1061, 1067, 1166, 1185, 1454, 1922, 1952, Credverb. 5, F. 30, 41 dst.)”.
         Untuk meminta pembatalan atau mengajukan pembatalan suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat :
  1. Yang meminta pembatalan adalah kreditur dari salah satu pihak
  2. Perjanjian itu merugikan baginya
  3. Perbuatan atau perjanjian itu tidak diwajibkan
  4. Debitur dan pihak lawan, kedua-duanya mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan kreditur
c. Pembatalan perjanjian karena kekhilafan (dwaling)
          Jika kehendak seseorang pada waktu membuat perjajian dipengaruhi oleh kesan/pandangan yang palsu, maka dalam hal ini terdapat kekhilafan. Contoh : seseorang membeli lukisan yang disangkanya lukisan Abdullah, akan tetapi ternyata bukan.
          Pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya mungkin dalam 2 hal, yaitu :
  1. Apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tapi ternyata bukan.
  2. Apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya, mengadakan perjanjian dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.
          Sehubungan dengan syarat, bahwa kekhilafan itu harus mengenai hakekat dari barangnya, maka perlu dijelaskan apakah yang dimaksud dengan perkataan tersebut. Hakekat barang adalah sifat-sifat/ciri-ciri dari batangnya yang bagi para pihak merupakan alasan dibuatnya perjanjian yang menyangkut barang tersebut. Sedangkan menurut Hoge Raad, hakekat barang adalah keadaan dari barangnya yang menjadi dasar dibuatnya perikatan oleh para pihak.
          Untuk menggugat berdasarkan kekhilafat (dwaling) harus memenuhi dua syarat, yaitu :
  1. Pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui, bahwa ia justru melakukan perbuatan itu berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang keliru tersebut.
  2. Dengan memperhatikan semua keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut selayaknya dapat dan boleh membuat kekeliruan itu.

d. Pembatalan perjanjian karena paksaan (dwang)
         Yang dimaksud dengan unsur paksaan dalam kontrak adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terkena paksaan tadi timbul rasa takut baik terhadap dirinya sendiri maupun harta bendanya dari suatu kerugian yang terang dan nyata (Pasal 1324 KUH Perdata). Menurut KUH Perdata, agar suatu paksan dapat menjadi alasan pembatalan kontrak, maka unsur paksaan tersebut harus memenuhi syarat :
1. Paksaaan dilakukan terhadap :
  • Orang yang membuat kontrak ;
  • Suami atau isteri pihak yang membuat kontrak
  • Sanak keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah

2. Paksaan tersebut dilakukan oleh : 
  • salah satu pihak dalam kontrak ;
  • pihak ketiga untuk kepentingan siapa kontrak itu dibuat
3. Paksaan tersebut menakutkan seseorang
4. Orang yang takut tersebut harus berpikiran sehat
5. Ketakutan tersebut berupa ketakutan terhadap diri orang tersebut dan ketakutan terhadap harta bendanya terhadap kerugian yang nyata dan terang.
6. Ketakutan bukan karena hormat dan patuh kepada orang tua atau sanak keluarga tanpa paksaan.

          Dikatakan adanya paksaan, apabila seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman, sehingga dengan demikian, orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 WB “Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.”). Jadi disini, yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa, dan bukan paksaan badan (fisik). Dengan demikian, ancaman ini harus dengan sesuatu perbuatan yang terlarang dan diaanggap mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga (pasal 1323 WB “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu. (KUHPerd. 893, 1053, 1065, 1325.)”). Apabila yang diancamkan adalah sesuatu tindakan yang memang diizinkan oleh undang-undang, maka tidak dapat dikatan suatu paksaan. Jadi, siapa yang mengancam debitur dengan upaya-upaya hukum yang diperkenankan, maka ia bertindak menurut hukum.

e. Pembatalan perjanjian karena penipuan (bedrog)
          Penipuan adalah suatu rangkaian kebohongan dimana pihak yang satu dengan tipu muslihat berusaha menjerumuskan pihak lawan untuk suatu kata sepakat. Menurut Pasal 1328 WB, penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian, apabila dengan salah satu pihak sengaja melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya memberikan persetujuan. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
          Yang dimaksud dengan penipuan adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan pihak lain dalam kontrak tersebut menandatangani kontrak yang bersangkutan, dan jika seandainya tidak ada unsure penipuan ini (dalam keadaan normal) maka pihak tadi tidak akan bersedia menandatangani kontrak (Pasal 1328 KUH Perdata).
          Beberapa syarat harus dipenuhi agar suatu penipuan dalam kontrak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak :
1. Penipuan harus mengenai fakta substansial ;
          Penipuan yang dilakukan harus mengenai fakta substansial. Jadi, misalnyabila seseorang penjual mobil second hand mengatakan bahwa mobil yang dijualnya dalam keadaan baik, tapi ternyata setelah dibeli oleh seorang pembeli, mobil tersebut ternyata tidak seperti yang ia harapkan. Alasan ini tidak cukup menjadi alasan pembatalan karena keadaan baik yang disebut penjual sangat relatif sifatnya dan hal ini bukan merupakan fakta substansial, tapi lebih mengarah pada sebuah pendapat. Berbeda halnya jika seorang penjual mengatakan menjual suatu barang yang berasal dari luar negeri dengan menunjukkan surat-surat yang dipalsukan.
          Sebenarnya barang tersebut adalah barang dalam negeri. Alasan ini dapat dijadikan sebagai alasan membatalkan kontrak, unsur penipuan yang dilakukan oleh penjual dalam hal ini menyangkut masalah fakta substansial.
2. Pihak yang menandatangani kontrak berpegang pada fakta substansial yang ditipu tersebut.
3. Penipuan juga termasuk nondisclosure
          Penipuan yang sifatnya nondisclosure ini sifatnya merahasiakan suatu fakta atau informasi substansial. Misalnya bila seorang penjual mengetahui bahwa pembeli mencari barang baru, tetapi dia diam saja ketika ia memberikan barang separuh pakai pada pembeli tersebut.
4. Penipuan juga termasuk kebenaran sebagian (half truth);
          Penipuan jenis ini adalah dengan cara tidak memberirahukan sebagian informasi substansial sedangkan sebagian lagi diberitahukan, sehingga pemberian informasi seperti ini bisa menyesatkan (misleading)
5. Penipuan dengan perbuatan
          Misalnya seorang menjual mobil bekas Taxi, sebelum mobil tersebut dijual, penjual tadi merubah surat-surat Taxi tersebut sehingga kelihatan tidak seperti mobil Taxi. Jika dalam keadaan normal pembeli mengetahui fakta bahwa mobil ini adalah bekas Taxi, maka dia tidak akan membeli mobil tersebut.

F. Prestasi dan Wanprestasi

          Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
          Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :
  • Memberikan sesuatu;
  • Berbuat sesuatu;
  • Tidak berbuat sesuatu.
     Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
       Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
           Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena *:

  • Kesengajaan;
  • Kelalaian;
  • Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

* Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).

Hukum Dagang

A. Hubungan antara Hukum Dagang dengan Hukum Perdata

           Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUH Perdata.
            KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal. 
            Hukum Dagang di Indonesia bersumber pada : 
1. Hukum tertulis yang dikodifikasi yaitu : 
  • KUHD  
  • KUH Perdata 
2. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasi, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan, misal UU Hak Cipta.

          Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam KUH Perdata yaitu tentang Perikatan, seperti jual-beli,sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Secara khusus materi hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam KUHD dan KUH Perdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus yang belum dikodifikasi seperti tentang koperasi, perusahaan negara, hak cipta dll.
          Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodifikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur  pergaulan internasional dalam hal perniagaan.
          Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang merupakan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal yang diatur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.

B. Hubungan antara Pengusaha dan Pembantu-Pembantunya

         Pengusaha (pemilik perusahaan) yang mengajak pihak lain untuk menjalankan usahanya secara bersama-sama,atau perusahaan yang dijalankan dan dimiliki lebih dari satu orang, dalam istilah bisnis disebut sebagai bentuk kerjasama. Bagi perusahaan yang sudah besar, Memasarkan produknya biasanya dibantu oleh pihak lain, yang disebut sebagai pembantu pengusaha. Secara umum pembantu pengusaha dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu:
  1. Pembantu-pembantu pengusaha di dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja keliling, pengurus fillial, pemegang prokurasi dan pimpinan perusahaan.
  2. Pembantu pengusaha diluar perusahaan, misalnya agen perusahaan, pengacara, noratis, makelar, komisioner.

C. Kewajiban-Kewajiban sebagai Pengusaha

  1. Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya
  2. Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
  3. Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
  4. Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
  5. Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
  6. Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
  7. Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek

Badan Usaha

A. Pengertian Badan Usaha

          Pengertian badan usaha adalah kesatuan yuridis/hukum dan ekonomis yang memiliki tujuan untuk mencari laba atau keuntungan. Ada banyak contoh dan jenis-jenis badan usaha yang ada di Indonesia, bisa berupa koperasi, badan usaha milik negara (BUMN) dan juga badan usaha milik swasta (BUMS).
          Badan usaha berbeda dengan perusahaan. Perbedaan badan usaha dan perusahaan adalah pada badan usaha bersifat sebagai lembaga, sementara perusahaan adalah tempat di mana badan usaha itu mengelola faktor-faktor produksi dalam kegiatan usaha.

B. Bentuk-Bentuk Badan Usaha

1. Perusahaan Perseorangan
          Dari namanya kita tahu bahwa perusahaan perseorangan merupakan jenis kegiatan usaha, modal dan manajemenya ditangani oleh satu orang.
          Orang yang punya usaha tersebut biasanya menjadi manajer atau direktur sendiri, jadi tanggung jawabnya tidak terbatas. Namun jika untung, tentu untuk sendiri dong.
Ciri-cirinya :
  • Dimiliki oleh perorangan.
  • Pengelolaan terbatas atau sederhana.
  • Modal tidak terlalu besar.
  • Kelangsungan hidup usaha bergantung pada pemilik perusahaan.
Kelebihan :
  • Dapat mudah dimulai.
  • Biaya tergolong rendah.
  • Bebas dalam mengelola perusahaan.
Kekurangan :
  • Karena perorangan dan biaya terbilang sedikit, jadi kemampuan perusahaan terbatas.
  • Tenaga kerja dan manajemen terbatas.
  • Kebutuhan modal yang dapat dipenuhi oleh pemilik juga kecil.
2. Koperasi
          Koperasi adalah jenis badan usaha yang beranggotakan orang – orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berlandaskan asas kekeluargaan.
          Menurut ILO ( International Labour Organization ), koperasi memiliki 6 elemen atau ciri – ciri yang harus dimiliki :
  • Koperasi adalah perkumpulan orang – orang.
  • Penggabungan orang – orang berdasarkan kesukarelaan.
  • Terdapat tujuan ekonomi yang ingin dicapai.
  • Terdapat kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan.
  • Anggota koperasi menerima manfaat dan resikonya secara seimbang.
Kelebihan :
  • Sisa hasil Usaha yang dihasilkan oleh koperasi akan dibagi kepada anggota.
  • Anggota koperasi berperan jadi konsumen dan produsen sekaligus.
  • Seseorang yang akan menjadi anggota koperasi atau yang ingin atau yang sudah menjadi anggota, bukan karena terpaksa, melainkan keinginanya sendiri untuk memperbaiki hidupnya.
  • Mengutamakan kepentingan Anggota.
Kekurangan :
  • Modal terbatas.
  • Daya saing lemah.
  • Tidak semua anggota memiliki kesadaran berkoperasi.
  • Sumber daya manusia terkadang kurang.
3. BUMN ( Badan Usaha Milik Negara )
          BUMN merupakan jenis badan usaha dimana seluruh atau sebagian modal dimiliki oleh Pemerintah. Status pegawai yang bekerja di BUMN adalah karyawan BUMN, bukan pegawai negeri. Saat ini sih sudah ada 3 bentuk badan usaha BUMN, yaitu :
a. Perjan
          Perjan merupakan salah satu bentuk badan usah yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah. Kemudian perjan fokus melayani masyarakat. Namun karena selalu fokus pada masyarakat dan tanpa adanya pemasukan untuk menanggulangi hal tersebut, maka sudah tidak terapkan lagi. Contoh Perjan : PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), sekaran menjadi PT. KAI.
 
b. Perum
          Perum ibarat perubahan dari Perjan. Sama seperti perjan, namun perum berorientasi pada profit atau mencari keuntungan. Perum dikelola oleh negara dan karyawan berstatus sebagai Pegawai Negeri. Walaupun sudah berusaha mencari keuntungan namun tetap saja merugi, sehingga Negara menjualnya ke publik dan pada akhirnya berganti nama menjadi Perseo.

c. Persero
           Persero merupakan salah satu bentuk badan usaha yang dikelola oleh Negara. Tidak seperti Perjan dan Perum. Selain mencari keuntungan, Persero juga mendedikasikan untuk pelayanan masyarakat.
Ciri-ciri Persero :
  • Tujuan utamanya mencari laba (Komersial)
  • Modal sebagian atau seluruhnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan yang berupa saham-saham
  • Dipimpin oleh direksi
  • Pegawainya berstatus sebagai pegawai swasta
  • Badan usahanya ditulis PT (nama perusahaan) (Persero)
  • Tidak memperoleh fasilitas negara
          Contoh Persero : PT. Kereta Api Indonesia, PT. Perusahaan Listrik Negara, PT. Pos Indonesia dan masih banyak lagi.

4. BUMS ( Badan Usaha Milik Swasta )
          Badan Usaha Milik Swasta atau BUMS adalah jenis badan usaha yang didirikan dan dimodali oleh seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan UUD 1945 pasal 33, bidang- bidang usaha yang diberikan kepada pihak swasta adalah mengelola sumber daya ekonomi yang bersifat tidak vital dan strategis atau yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Berdasarkan badan hukumnya, BUMS dibedakan menjadi :
a. Firma (Fa)
          Firma merupakan badan usaha yang didirikan oleh 2 orang atau lebih dimana tiap anggota bertanggung jawab penuh atas perusahaan. Modal firman berasal dari anggota pendiri. Untuk laba atau keuntungan dibagikan kepada anggota dengan perbandingan sesuai akta sewaktu pendiriannya.
Ciri-ciri Firma :

  • Para sekutu aktif dalam mengelola perusahaan
  • Tanggung jawab tak terbatas atas segala resiko yang terjadi
  • Akan berakhir jika salah satu anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia.

Kelebihan :

  • Mudah, tak perlu banyak persyaratan namun perlu kesepakatan para pihak yang akan mendirikan firma.
  • Tidak terlalu memerlukan akta formal karena menggunakan akta dibawah tanda tangan
  • Modal lebih cepat cair
  • Lebih mudah berkembang

Kekurangan :

  • Punya tanggung jawab yang tak terbatas apabila ada resiko
  • Bisa mengancam kelangsungan hidup perusahaan bila salah satu pendiri meninggal dunia atau mengundurkan diri
  • Sulit dalam peralihan pimpinan dan sering terjadi konflik internal
  • Kesulitan menghimpun dana besar serta mengikuti tender dalam jumlah tertentu

b. CV (commanditaire vennootschap) atau Persekutuan Komanditer
          Perusahaan Komanditier atau yang biasa disingkat menjadi CV meruapakan perusahaan persekutuan yang didirikan berbadasarkan saling percaya (ciee). Jadi tuh CV merupakan salah satu bentuk usaha yang dipilih para pengusaha yang ingin punya kegiatan usaha namun modal minim.
          Dalam CV, terdapat beberapa sekutu yang secara penuh bertanggung jawab atas sekutu lainnya, kemudian ada salah satu yang menjadi pemberi modal. Dan tanggung jawab sekutu komanditer hanya terbatas pada sejumlah modal yang diberikan. Sehingga ada 2 jenis sekutu :

  1. Sekutu aktif adalah anggota yang memimpin/ menjalankan perusahaan dan bertanggung jawab penuh atas utang- utang perusahaan.
  2. Sekutu pasif / sekutu komanditer adalah anggota yang hanya menanamkan modalnya kepada sekutu aktif dan tidak ikut campur dalam urusan operasional perusahaan. Sekutu pasif bertanggung jawab atas risiko yang terjadi sampai batas modal yang ditanam.

Ciri–ciri CV :

  • Didirikan minimal 2 orang, dimana satu orang bertindak sebagai Persero aktif, dan satunya lagi sebagai persero pasif
  • Seorang persero aktif akan bertindak mengurus perseroan. Sehingga ia akan bertanggung jawab penuh atas segala resiko.
  • Persero pasif hanya bertindak sebagai sleeping partner. Dimana dia hanya bertanggung jawab sebesar modal yang ia setorkan ke dalam perseroan.

Kelebihan :

  • Bentuk CV sudah dikenal masyarakat, sehingga memudahkan perusahaan ikut dalam berbagai kegiatan.
  • CV mudah memperloleh modal karena pihak perbankan mempercayainya.
  • Lebih mudah berkembang karena dipegan orang yang ahli dan dipercaya.
  • CV lebih fleksibel
  • Pembagian keuntungan diberikan pada sekutur Komanditer dan tak kena pajak penghasilan

Kekurangan :

  • Untuk mendirikan CV lebih ribet, karena melalui akta notaris dan didaftarkan ke Departmen Kehakiman.
  • Status hukum badan usaha CV jarang dipilih oleh pemilik modal atau beberapa proyek besar

c. PT ( Perseroan Terbatas )
          Merupakan badan hukum perusahaan yang banyak diminati pengusaha. Kenapa? Karena badan hukum ini punya kelebihan  dibanding lainnya. Apa aja? seperti luasnya badan usaha yang bisa dimiliki, bebas dalam pergerakan bidang usaha dan tanggung jawab yang dimiliki terbatas hanya pada modal yang disetorkan.
Ciri – ciri PT :

  • Kewajiban terhadap pihak luar hanya terbatas pada modal yang disetorkan.
  • Mudah dalam peralihan kemepimpinan.
  • Usia PT tidak terbatas.
  • Mampu untuk menghimpun dana dalam jumlah yang besar.
  • Bebas untuk melakukan berbagai aktivitas bisnis.
  • Mudah mencari karyawan
  • Dapat dipimpin oleh orang yang tidak memiliki saham.
  • Pajaknya berganda antara Pajak Penghasilan dan Pajak Deviden

Kelebihan PT :

  • Mudah dalam peralihan kepemimpinan.
  • Mudah memperoleh tambahan modal.
  • Kelangsungan perusahaan sebagai badan hukum lebih terjamin.
  • Lebih efisien dalam manajemen pengolahan sumber-sumber modal.

Kekurangan PT :

  • Pajaknya berganda antara Pajak Penghasilan dan Pajak Deviden.
  • Pendiriannya memerlukan akta notaris dan ijin khusus usaha tertentu.
  • Biaya pembentukan PT relatif tinggi.
  • Terlalu terbuka dalam pelaporan kepada pemegang saham.

d. Yayasan
          Yayasan merupakan salah satu bentuk – bentuk badan usaha, namun yayasan tidak mencari untung. Jadi lebih ke kepentingan sosial dan berbadan hukum.
Ciri – ciri Yayasan :

  • Yayasan dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Yayasan dibentuk dengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, religi, sosial dan kemanusiaan.
  • Didirikan dengan akta notaris.
  • Tidak memilik anggota dan tidak dimiliki siapapun, namun memiliki pengurus atau organ untuk merealisasikan tujuan Yayasan.
  • Yayasan dapat dibubarkan oleh pengadilan dalam kondisi pertentangan tujuan yayasan dengan hukum, likuidasi dan pailit.

Kelebihan Yayasan :

  • Non profit dan rela membantu masyarakat

Kekurangan Yayasan :

  • Terbatasnya dana



Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar