Periode
Pra-Kolonialisme adalah masa berdirinya kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar
abad ke – 5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara sistematis
menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah nusantara (sekitar abad ke-15
sampai ke-17), pada masa itu RI belum berdiri.
Perdagangan di masa
kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik,
dimana pengaruh raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa
Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan
Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan
kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak.
Penggunaan uang yang
berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang
baru mulai dikenal di masa kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari
timah di Cirebon. Perdagangan barter banyak berlangsung dalam system
perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang
harus diimbangi dengan ekspor atau Impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri
dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan
ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan
kerajaan kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa,
kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial,
pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Di Indonesia secara
keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Indonesia.
Dengan kata lain,
sistem pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
- Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan rempah di Maluku.
- Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dll.
- Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa sangat mengandalkan jalur laut.
- Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam sejarah Inonesia diantaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Majapahit (abad ke 13-15) maupun Banten (abad ke 17-18) merupakan kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas.
B.
Sistem Monopoli VOC yang terjadi di Indonesia
VOC telah diberikan hak
monopoli terhadap perdagangan & aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh
Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yg kini bernama Jakarta.
Hindia-Belanda pada abad ke-17 & 18 tak dikuasai secara langsung oleh
pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur
Belanda
VOC menerapkan aturan
baru yaitu Verplichte Leverantie atau penyerahan wajib. Tiap daerah
diwajibkan menyerahkan hasil bumi kepada VOC menurut harga yang telah
ditentukan.
Agar dapat melaksanakan
tugas dengan leluasa VOC diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda :
- Memonopoli perdagangan
- Mencetak dan mengedarkan uang
- Mengangkat dan memperhentikan pegawai
- Mengadakan perjanjian dengan raja-raja
- Memiliki tentara untuk mempertahankan diri
- Mendirikan benteng
- Menyatakan perang dan damai
- Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
Peraturan yang
ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain :
- Verplichte Laverantie, yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yg telah ditetapkan oleh VOC,dan melarang rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC.
- Contingenten, yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.
- Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah yang boleh ditanam.
- Ekstirpasi, yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah agar tidak terjadi over produksi yg dapat menyebabkan harga rempah merosot.
- Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan perahu kora-kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan menindak pelanggarnya.
C.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel), merupakan peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch (Pencetus sistem tanam paksa) pada tahun 1830
memulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuur
stelsel. Mengharuskan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami
komoditi yang laku dipasar ekspor, khususnya tebu, tarum (nila) dan kopi. Hasil
tanaman ini nantinya harus dijual kepada pemerintah belanda dengan harga yang
telah ditetapkan. Sedangkan Penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja
selama 75 hari setiap tahun (20% dari 365 Hari) pada perkebunan milik
pemerintah belanda, hal tersebut menjadi semacam pengganti pajak bagi rakyat.
Tujuan sistem tanam
paksa atau Cultuur stelsel adalah memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam
waktu relatif singkat, yang tujuannya untuk mengisi kekosongan kas Belanda yang
pada saat itu terkuras habis akibat perang.
Sistem tanam paksa yang
dilaksanakan memiliki aturan-aturan sebagai berikut:
- Setiap penduduk wajib menyerahkan seperlima dari lahan garapannya untuk ditanami tanaman wajib yang berkualitas ekspor.
- Tanah yang disediakan untuk tanah wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
- Hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat.
- Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi atau kurang lebih 3 bulan.
- Mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari atau seperlima tahun di perkebunan pemerintah.
- Jika terjadi kerusakan atau kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah (jika bukan akibat kesalahan petani).
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa.
Dalam kenyataannya,
pelaksanaan tanam paksa (cultur stelsel) banyak terjadi penyimpangan, karena
berorientasi pada kepentingan imperialis, di antaranya:
- Jatah tanah tanaman ekspor melebihi seperlima tanah garapan, apalagi tanahnya subur.
- Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman ekspor, sehingga banyak tidak sempat mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
- Rakyat tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi 1/5 tahun.
- Waktu pelaksanaan tanaman ternyata melebihi waktu tanam padi (tiga bulan) sebab tanaman-tanaman perkebunan memerlukan perawatan yang terus-menerus.
- Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat ternyata tidak dikembalikan kepada rakyat.
Dalam pelaksanaannya,
banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan yang ditetapkan. Penyimpangan ini
terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan
sistem cultuur procenten.
Cultur procenten atau
prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa
(penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi
ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Bagi rakyat di Pulau
Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat
menyengsarakan rakyat. Terjadi kelaparan yang hebat di Cirebon (1844), Demak
(1848), dan Grobogan (1849). Di antara jenis tanaman kultur yang diusahakan
itu, tebu dan nila, adalah yang terpenting.
Tebu adalah bahan untuk
gula, sedangkan nila bahan untuk mewarnai kain. Kemudian menyusul kopi, yang
merupakan bahan ekspor yang penting. Selama tanam paksa, jenis tanaman yang
memberi untung banyak ialah kopi dan gula. Tanah yang dipakai juga luas. Jumlah
petani yang terlibat dalam tanam paksa gula dan kopi adalah besar, laba yang
diperoleh juga banyak. Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar
tahun 1830-1840. Pada waktu itu Negeri Belanda menikmati hasil tanam paksa yang
tertinggi. Tetapi sesudah tahun 1850, mulai terjadi pengendoran.
Akibat Sistem Tanam
Paksa :
- Akibat Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda :
- Kas Belanda menjadi surplus (berlebihan)
- Belanda bebas dari kesulitan keuangan
- Akibat Sistem Tanam Paksa Bagi Indonesia
- Banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal.
- Rakyat makin menderita.
- Wabah penyakit merajalela.
- Bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri.
- Kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang mengalami kematian dan menyebabkan jumlah penduduk menurun tajam.
Pengaruh Positif Sistem Tanam Paksa Bagi Rakyat
Indonesia :
- Terbukanya lapangan pekerjaan,
- Rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru
- Rakyat mengenal cara menanam yang baik.
D.
Sistem Ekonomi Kapitalisme Liberal
Sistem ekonomi liberal
kapitalis adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor
produksinya sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta. Sementara
tujuan utama kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh laba.
Sistem perekonomian/tata
ekonomi liberal kapitalis merupakan sistem perekonomian yang memberikan
kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti
memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya.
Dalam perekonomian liberal
kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan
kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba
sebesar- besarnya dan bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan
bebas.
Sejarah
dan Perkembangan
Sistem ekonomi liberal
kapitalis lebih bersifat memberikan kebabasan kepada individu/swasta dalam
menguasai sumber daya yang bermuara pada kepentingan masing-masing individu
untuk mendapatkan keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Hal tersebut tidak terlepas
dari berkembangnya paham individualisme dan rasionalisme pada zaman kelahiran
kembali kebudayaan Eropa (renaisance) pada sekitar abad pertengahan (abad
ke-XVI). Yang dimaksud dengan kelahiran kembali kebudayaan Eropa adalah
pertemuan kembali dengan filsafat Yunani yang dianggap sebagai sumber ilmu
pengetahuan modern setelah berlangsungnya Perang Salib pada abad XII – XV.
Cepat diterimanya kebudayaan Yunani oleh ilmuwan Eropa tidak terlepas dari
suasana masa itu, dimana Gereja mempunyai kekuasaan yang dominan sehingga
berhak memutuskan sesuatu itu benar atau salah. Hal tersebut mendorong para
ilmuwan untuk mencari alternatif diluar Gereja. Dalam hal ini filsafat Yunani
yang mengajarkan bahwa rasio merupakan otoritas tertinggi dalam menentukan
kebenaran, sangat cocok dengan kebutuhan ilmuwan Eropa waktu itu.
Pengaruh gerakan
reformasi terus bergulir, sehingga mendorong munculnya gerakan pencerahan
(enlightenment) yang mencakup pembaruan ilmu pengetahuan, termasuk perbaikan
ekonomi yang dimulai sekitar abad XVII-XVIII. Salah satu hasilnya adalah
masyarakat liberal kapitalis.
Namun gerakan
pencerahan tersebut juga membawa dampak negatif. Munculnya semangat liberal
kapitalis membawa dampak negatif yang mencapai puncaknya pada abad ke-XIX,
antara lain eksploitasi buruh, dan penguasaan kekuatan ekonomi oleh individu.
Kondisi ini yang mendorong dilakukannya koreksi lanjutan terhadap sistem
politik dan ekonomi, misalnya pembagian kekuasaan, diberlakukannya
undang-undang anti monopoli, dan hak buruh untuk mendapatkan tunjangan dan
mendirikan serikat buruh.
Sistem
liberal kapitalis awal/klasik
Sistem ekonomi liberal
kapitalis klasik berlangsung sekitar abad ke-XVII sampai menjelang abad ke-XX,
dimana individu/swasta mempunyai kebebasan penguasaan sumber daya maupun
pengusaan ekonomi dengan tanpa adanya campur tangan pemerintah untuk mencapai
kepentingan individu tersebut, sehingga mengakibatkan munculnya berbagai ekses
negatif diantaranya eksploitasi buruh dan penguasaan kekuatan ekonomi. Untuk
masa sekarang, sitem liberal kapitalis awal/klasik telah ditinggalkan.
Sistem
liberal kapitalis modern
Sistem ekonomi liberal
kapitalis modern adalah sistem ekonomi liberal kapitalis yang telah
disempurnakan. Beberapa unsur penyempurnaan yang paling mencolok adalah
diterimanya peran pemerintah dalam pengelolaan perekonomian. Pentingnya peranan
pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pengawas jalannya perekonomian. Selain
itu, kebebasan individu juga dibatasi melalui pemberlakuan berbagai peraturan,
diantaranya undang-undang anti monopoli (Antitrust Law). Nasib pekerja
juga sudah mulai diperhatikan dengan diberlakukannya peraturan-peraturan yang
melindungi hak asasi buruh sebagai manusia. Serikat buruh juga diijinkan
berdiri dan memperjuangkan nasib para pekerja. Dalam sistem liberal kapilalis
modern tidak semua aset produktif boleh dimiliki individu terutama yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, pembatasannya dilakukan
berdasarkan undang-undang atau peraturan-peraturan. Untuk menghindari perbedaan
kepemilikan yang mencolok, maka diberlakukan pajak progresif misalnya pajak
barang mewah.
E. Sejarah Era Pendudukan Jepang
Mengalami
pendudukan Jepang di Indonesia bervariasi, tergantung di mana
seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Campuran Belanda dan Indonesia
merupakan target dalam pendudukan Jepang. Dimulai dariwilayah Tarakan
(Kalimantan Timur) sebagai penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia,
berturut-turut kemudian wilayah Balikpapan, Ambon,Kendari, Pontianak dapat
dikuasai padabulan yang sama. Pada bulan Pebruari 1942 Jepang berhasil
menguasai Palembang.
Untuk menguasai
Indonesia, Jepang menggunakan 2 jalur, yaitu :
- Lewat Philipina ;Tarakan, Balikpapan, Bali, Rembang Indramayu
- Lewat Semenanjung Melayu ; Palembang, Pontianak, Tanjung Priok
Pada tanggal 5 Maret
1942 tentara Jepang berhasil menguasai Batavia. Karena semakin terdesak serta
tidak adanya bantuan dari Amerika Serikat akhirnya Belanda terpaksa harus
menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati
(SubangJawabarat) pada tanggal 8 Maret 1942. Perjanjian ini ditandatangani
oleh Jenderal Teerporten selaku wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Indonesia (Tjarda Van Stackenborg Stackhouwer) dengan Jenderal Immamura sebagai
Pimpinan balatentara Jepang di Indonesia.
Tujuan Jepang menyerang
dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam,
terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung
industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi
militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
F. Cita-cita ekonomi merdeka
Bung Hatta pernah
berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan
tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia
Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk
sebagai biduan dari capital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung
Hatta di New York, AS, tahun 1960). Karena itu, para pendiri bangsa, termasuk
Bung Karnodan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita
Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita perekonomian kita. Pertama,
melikuidasi sisa-sisa ekonomi colonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan
terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Para pendiri bangsa
kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi
pemelaratan mayoritas rakyat.Tegasnya,cita-cita perekonomian kita
menghendaki kemakmuran seluruh rakyat. Mewujudkannya dengan cara:
- Adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif.
- Adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomiterencana).
- Adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap system ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
- Adanya penegasan bahwa sumber dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
G.
Perekonomian di Indonesia
Masa
Orde Lama
Dibawah pimpinan
Soekarno bersikap anti batuan asing dan berorientasi kedalam. Soekarno
menyatakan bahwa nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di atas
kaki sendiri atau yang biasa disebut “berdikari” (Mas’oed, 1989:76). Soekarno
tidak menghendaki adanya bantuan luar negeri dalam membangun perekonomian
Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah dilakukan oleh Indonesia
sendiri. Sikap Soekarno yang anti bantuan asing pada akhirnya membawa
konsekuensi tersendiri yaitu terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia.
Soekarno cenderung mengabaikan permasalahan mengenai ekonomi negara,
pengeluaran besar-besaran yang terjadi bukan ditujukan terhadap pembangunan,
melainkan untuk kebutuhan militer, proyek mercusuar, dan dana-dana politik
lainnya. Soekarno juga cenderung menutup Indonesia terhadap dunia luar terutama
negara-negara barat. Hal itu diperkeruh dengan terjadinya inflasi hingga 600%
per tahun pada 1966 yang pada akhirnya mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi
Indonesia.Kepercayaan masyarakat pada era Orde Lama kemudian menurun karena
rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
Masa
Orde Baru
Di bawah pimpinan
Soeharto. Di era OrdeBaru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik sebagai
Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”.Karena pada masa ini,
pembangunan ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto
berorientasi kepada pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga
berbanding terbalik dengan kepemimpinan era Soekarno. Perekonomian pada masa
Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di berbagai sector dan
pengiriman delegasi untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara
barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan
harga-harga melalui “injeksi” bahan impor kepasar. Orde Baru cenderung berorientasi
keluar dalam membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap.
Pertama, tahap penyelamatan yang bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan
ekonomi tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infra struktur ekonomi.
Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain dipererat
melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi
internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia.
Reformasi
Ditandai dengan
lengsernya Presiden Soeharto dan diangkatnya BJ Habibie yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
tidak mampunya Soeharto mengalami permasalahan ekonomi serta semakin mewabahnya
KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Dalam masa kini perkembangan ekonomi tentu
saja lebih baik daripada dua era tersebut. Sebenarnya Indonesia. Orientasi
ekonomi di Indonesia harus lebih fleksibel. Karena dengan hal tersebut maka
ekonomi di Indonesia tidak hanya berpusat di dalam negeri tanpa mau menerima
bantuan asing, juga tidak hanya berkonsentrasi pada bantuan asing tanpa
memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Alangkah lebih
baiknya jika orientasi kedalam negeri maupun keluar negeri dapat seimbang,
sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki kekurangan dapat menerima
berbagai bantuan luar negeri secara wajar, yang kemudian tidak lupa untuk
memaksimalkan sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri, baik itu SDA maupun
SDM di Indonesia.
Reference :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar